
Tuntunan Terbaik Bagi Seorang Muslim Dalam Menyikapi Musibah
Kembali hati ini berduka menyaksikan saudara-saudara seiman dan setanah air mendapatkan ujian yang telah menjadi ketetapan Allah. Tidak bisa kaki ini ikut melangkah ke sana. Harta pun tidak seberapa. Hanya bisa diri ini menggoreskan sebaris kata, yang tak ubahnya sebatas asa yang melipur lara sesaat.
Bencana yang melanda di penghujung tahun ini datang bersahutan, mulai dari erupsi Gunung Semeru, hingga banjir yang menerjang Lombok Barat, Manado, dan juga kota Makassar.
Per tanggal 8 Desember, sebanyak 39 korban jiwa tercatat imbas dari erupsi Gunung Semeru dan lima orang meninggal akibat banjir yang melanda Lombok, NTB.
Mengakibatkan sebanyak 4.809 penduduk diungsikan akibat banjir Makassar dan 6.022 jiwa mengungsi akibat erupsi Gunung Semeru.
Tentu jumlah ini akan terus bertambah.
Sejatinya, bencana atau musibah yang menimpa orang lain, bagi seorang mukmin adalah teguran keras dari Allah untuk mereka. Seorang mukmin melihat apa yang orang kafir tidak bisa lihat.
Seorang yang tidak mengimani Allah, melihat semua bencana yang terjadi ini hanya sebatas data dan angka. Sebaliknya, seorang mukmin akan melihat hikmah Allah di balik semua peristiwa yang ada.
Sejatinya, setiap musibah yang Allah berikan kepada seorang mukmin merupakan rahmat dan kasih sayang-Nya. Namun sebaliknya, musibah yang menimpa seorang kafir adalah hukuman yang Ia timpakan sebagai azab dan amurka-Nya.
Bukankah sebuah duri yang menancap di kaki seorang mukmin menjadi kafarat atas dosa-dosanya. Bahkan, bernilai pahala karena seorang mukmin adalah orang yang tidak bakal berkeluh atas setiap apa yang telah menjadi ketetapan baginya.
Jikalau hanya sebuah duri yang menusuk saja menjadi sebab Allah memberikan ampunan, maka pahala yang kalian terima atas musibah besar ini jauh lebih layak disebut sebagai kafarat dosa.
Berikut segores pena pelipur lara yang semoga dapat menguatkan asa setiap insan beriman dalam menyikapi musibah yang sedang menimpa mereka. Sehingga, bencana yang ada berbalas pahala.
Mengimani Bahwa Semua Bencana Ini Merupakan Bagian dari Qadha’ dan Qadar Allah

Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghābun: 11)
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.” (QS. At-Tawbah: 51)
Keimanan inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan selainnya. Seberat apa pun musibah ini, terjadi atas kehendak Allah. Dan Allah shubhanahu wata’ala akan memberikan petunjuk kepada hati-hati seorang hamba jika mereka dalam menyikapi musibah ini, mengimani dengan sebenar-benarnya bahwa musibah ini datang dari Allah.
Sehingga, seorang mukmin akan selalu optimis bahwa Allah pasti menolong mereka hingga akhirnya bertawakal sepenuhnya kepada-Nya.
Jangan sampai kita seperti orang yang tidak mengenal Allah. Laksana orang-orang yang tidak memiliki-Nya yang ketika tertimpa bencana berkata, “Kalau aku tidak berada di tempat kejadian, pasti aku tidak ikut tertimpa musibah.”
Lupa, bahwa semua ini atas kehendak-Nya.
Menyikapi Musibah Dengan Bertawakal Kepada-Nya
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalāq: 3)
Ibnu Rajab rahimahullah memaknai kata tawakal dengan,
“Mempercayai dari lubuk hati dengan sebenar-benarnya bahwa Allah adalah Zat yang mendatangkan seluruh maslahat dan Zat yang menghilangkan seluruh mudarat, baik dalam urusan agama dan akhirat.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali, 1/436)
Terkait dahsyatnya tawakal, Ibnu al-Qayyim rahimahullah menyebutkan,
“Tawakal merupakan penyebab utama (Allah) mendatangkan segala apa yang ia pinta, dan (Allah) menjauhkannya dari segala apa yang ia benci.” (Madariju as-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 2/120)
Saudaraku, setelah kita mengimani bahwa musibah ini terjadi atas kehendak Allah, kita menyikapi musibah ini dengan bertawakal kepada-Nya.
Semoga dengan kita bertawakal kepada-Nya, Allah segera mendatangkan ganti dari apa yang Ia ambil. Baik tempat tinggal, pekerjaan, dan kesembuhan. Dan ganti terbaik dari orang terkasih yang telah Ia ambil akibat musibah ini.
Kembali kepada Allah Merendahkan diri kepada Allah

Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّبِيٍّ اِلَّآ اَخَذْنَآ اَهْلَهَا بِالْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُوْنَ
“Dan Kami tidak mengutus seorang nabi pun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan agar mereka (tunduk dengan) merendahkan diri.” (QS. Al-A’rāf: 94)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, kata kesempitan bermakna berbagai macam penyakit kronis yang menjangkiti tubuh mereka, adapun kata penderitaan bermakna apa yang menimpa mereka berupa kemelaratan yang sangat dan yang semisalnya.
Kalimat agar mereka merendahkan diri bermakna berdoa, khusyuk, dan memohon kepada Allah ta’ala agar mengakhiri musibah yang mereka timpa. (Tafsir al-Quran al-’Adzim, Ismail bin Umar bin Katsir, 3/449)
Sering sekali seseorang yang setelah mendapatkan ujian, justru semakin dekat kepada Allah melebihi kedekatannya kepada-Nya sebelum mendapatkan ujian tersebut.
Kenikmatan yang kita punya barulah benar-benar terasa setelah hilang dari kita. Karena itu, orang yang terkena musibah akan merayu Allah agar mengembalikan segala fasilitas kenikmatan tersebut seperti sedia kala.
Semoga dengan kembali dan merendahkan diri kepada-Nya, Allah segera mengakhiri musibah ini dan mengganti apa yang hilang dari kita dengan yang lebih baik.
Ujian Merupakan Sunatullah
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ
“Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-’Ankabūt: 2)
Terkait ayat di atas, ada perkataan menarik dari Ibnu Taimiyah rahimahullah–sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Muflih rahimahullah,
“Termasuk bukti kesempurnaan nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, Ia memaksanya dengan kesusahan dan kepayahan agar mereka mau mengesakan-Nya dan berdoa kepada-Nya dengan ikhlas, hanya mengharapkan Allah bukan selain-Nya, dan agar batinnya hanya tergantung kepada-Nya.
Sehingga, seorang hamba yang mendapatkan ujian tersebut bertawakal sepenuhnya kepada-Nya, mau kembali kepada Allah, dapat merasakan manisnya iman, merasakan buah dari kemanisan iman yang ia rasakan, dan menjauhi syirik–yang sebelumnya seluruh kenikmatan tersebut tidak ia rasakan sebelum mendapatkan kesusahan dan kepayahan.
Kenikmatan-kenikmatan tersebut sejatinya lebih indah daripada diangkatnya penyakit, rasa takut, dan kemandulannya. Lebih nikmat daripada mendapatkan suatu kemudahan, maupun dihilangkannya kesulitan dalam hidupnya.” (Al-Adabu asy-Syar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, 1/165)
Menjauhi Dosa dan Maksiat
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rūm: 41)
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata terkait ayat di atas,
“Beberapa dampak buruk dari dosa dan maksiat adalah terjadinya bencana yang merusak air, udara, tanaman, buah-buahan, dan rumah-rumah.” (Al-Jawab al-Kafi liman Sa-ala ‘an ad-Dawa-i asy-Syafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 157)
Tidaklah bencana terjadi, melainkan akibat dari ulah tangan kita sendiri. Allah mengirimkan berbagai bencana yang bertubi-tubi sebagai pengingat kepada kita akan dosa kita yang telah menumpuk.
Sehingga, kita yang selamat dari bencana tersebut tidak mengulangi kembali dosa dan maksiat yang sebelumnya menjadi rutinitas kita.
Sebaliknya, mereka yang tidak beriman mengukur penyebab terjadinya bencana sebatas dari gejala alam biasa. Semisal, adanya perubahan pada alam baik secara perlahan maupun secara ekstrem.
Sehingga, peristiwa sedahsyat itu tidak akan menjadikan mereka berbenah diri dan menghentikan mereka dari buatan maksiat.
Di dalam ayat lain, Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syūrā: 30)
Bertobat dan Beristigfar
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
“Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfāl: 33)
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan al-Quran surat al-Anfal ayat ke-33, mengutip perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
“Dahulu sahabat memiliki dua penangkal dari datangnya azab Allah; pertama Nabi shallallahu alaihi wassallam, kedua istigfar. Nabi telah wafat, tersisa istigfar.” (Tafsir al-Quran al-’Adzim, Ismail bin Umar bin Katsir, 4/48)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Bencana tidak akan melanda, kecuali dengan berbuat dosa. Dan tidak akan diangkat, kecuali dengan bertobat.” (Al-Jawab al-Kafi liman Sa-ala ‘an ad-Dawa-i asy-Syafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 179)
Setelah kita tahu, bencana yang ada adalah akibat perbuatan dosa dan maksiat kita maka tidak ada amalan yang lebih utama, selain kita bertobat dan memperbanyak beristigfar kepada-Nya.
Bersabar Atas Apa yang Menimpa
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)
Bersabar merupakan salah satu bentuk ibadah kita kepada Allah. Bencana ini akan segera berakhir, sedangkan pahala tak terbatas telah Allah shubhanahu wata’ala sediakan kepada hamba-Nya yang bersabar,
اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Sejatinya, buah dari kesabaran ini tumbuh dari pohon keimanan kepada Allah. Keimanan inilah yang membedakan antara seorang hamba yang bersabar dengan orang-orang lemah yang suka berkeluh kesah: orang kafir, ketika menyikapi musibah yang ada.
Ciri orang bersabar, terucap dari lisannya, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali) kala musibah menyapa. Sehingga, tersenyum indah jiwa raganya tersebab kesudahan ayat,
“Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Tidak Berkeluh Kesah
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat,” (QS. Al-Ma‘arij: 19–22)
Beberapa ayat yang terkandung di dalam surat al-Ma‘arij di atas menjelaskan, suka mengeluh dan berkeluh kesah bukanlah sifat seorang mukmin. Tersebab, seorang mukmin yang menjaga shalatnya tidak akan berkeluh kesah atas apa yang telah menjadi ketetapannya.
Seorang mukmin yang mengesakan Allah, bila tertimpa suatu musibah mereka akan berintrospeksi diri. Mereka meyakini, bila musibah yang menimpa sejatinya ulah dari perbuatan buruk yang telah mereka perbuat.
Mereka tidak akan mengkambing-hitamkan orang lain. Yakin, bahwa musibah yang terjadi ada hikmah Allah di baliknya. Musibah yang menimpa seorang mukmin adalah rahmat dari Allah.
Oleh karena itu, tidaklah pantas kita menyikapi musibah ini dengan berkeluh kesah. Tidak berkeluh kesah atas akibat yang muncul dari bencana yang terjadi, baik sakit, kehilangan harta benda, rumah, bahkan kehilangan sanak keluarga.
Mengimani, bahwa apa yang ditakdirkan untuk kita, pasti akan menimpa kita. Dan apa yang tidak ditakdirkan menjadi milik kita, pasti tidak akan pernah kita miliki.
Allah telah menetapkan suratan takdir kita jauh sebelum bencana ini terjadi. Tidak ada yang menjadi kewajiban kita selain kita kembali kepada-Nya.
Optimis dan Berbaik Sangka Kepada Allah
Allah shubhanahu wata’ala berfirman di dalam hadits qudsi,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ
“Aku akan memperlakukan hamba-Ku sesuai dengan sangkaannya kepada-Ku. Aku senantiasa menyertainya, selama ia mengingat-Ku.” (HR. Al-Bukhari No. 6970; Muslim No. 2675)
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirāh: 5)
Jika musibah menimpa, ingatlah begitu banyaknya kebaikan dan kenikmatan yang Allah telah berikan kepada kita selama ini. Dengannya, kita akan senantiasa dapat bersyukur di dalam kondisi apa pun.
Jangan sampai musibah ini menjadikan kita berburuk sangka kepada Allah dan berpikir negatif. Allah memerintahkan kita agar selalu optimis dan berbaik sangka kepada-Nya.
Dengannya, Allah akan membersamai kita dalam menghadapi cobaan ini sebagaimana dahulu Ia menolong nabi Ayub dalam melewati setiap ujian karena selalu optimis dan berbaik sangka serta mengingat-Nya.
Mengungsi Ke Daerah Yang Aman
Pemerintah telah menetapkan beberapa protokol ketika terjadi bencana. Yang di antaranya adalah mengungsi bagi warga yang berada di sekitar wilayah bencana tersebut.
Memperbanyak Bertasbih
Imam asy-Syafii rahimahullah berkata,
“Aku tidak mendapati amalan yang lebih banyak mendatangkan manfaat ketika terjadi bencana, selain memperbanyak bertasbih.” (Hilyatu al-Auliya’ wa Thabaqatu al-Asfiya’, Ahmad bin Abdullah al-Asbahani, 9/136)
Walaupun kita sedang tertimpa musibah, kita dalam keadaan sempit, janganlah lisan kita ini kering dari bertasbih kepada Allah. Yaitu mengucapkan, “Subhanallah,” (Mahasuci Allah).
Selain memperbanyak bertasbih, di antara perkataan yang diucapkan ketika terjadi bencana adalah mengucapkan tahmid dan memuji-Nya.
Diriwayatkan, Umar bin Khattab radhiyallah ‘anhu ketika terjadi gempa bumi beliau bertahmid dan memuji Allah. (At-Tamhid lima Fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, Yusuf bin Abdullah bin Abdilbarr, 3/301)
Meminta Perlindungan Allah Dengan Doa
Allah shubhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَࣖ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu`min: 60)
Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
“Sikap kehati-hatian tidak dapat menangkal takdir, doa bermanfaat atas apa yang terjadi dan yang belum terjadi, musibah pasti turun dan doa akan menghadapinya. Keduanya (doa dan musibah) akan terus bertarung hingga hari kiamat.” (HR. Al-Hakim No. 1856; al-Hakim berkata, sanadnya sahih, meski al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, 2/162)
Jangan sampai bencana yang ada melupakan kita dari melangitkan doa kepada Rabb pemilik bencana. Panjatkan doa, rayulah Dia, agar Allah mengakhiri musibah ini, mencatat kesabaran kita sebagai pemberat timbangan, dan semoga Allah mengganti apa yang hilang dari kita dengan yang lebih baik.
Doa Meminta Perlindungan dari Bencana
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
"Pintalah perlindungan Allah dari bencana yang memayahkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk, dan cacian musuh.” (HR. Al-Bukhari no. 6242)
Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan,
“Bencana yang memayahkan adalah apa yang menimpa seseorang berupa kesulitan yang amat, yang terlalu berat untuk ia pikul, dan ia tidak sanggup menolaknya.” (Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, 11/139)
Doa di atas sering sekali Nabi panjatkan dan sejatinya beliau mengajarkan doa tersebut kepada kita.
Sudah selayaknya kita mencontoh beliau dengan turut melantunkan doa,
بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
Itulah segores pena beberapa hal, bagaimana seorang muslim menyikapi musibah yang datang sehingga sikap yang tepat tersebut dapat meneguhkan mereka.
Segores pena ini kami tunjukkan kepada para korban bencana khususnya dan kepada seluruh umat Islam Indonesia secara umum. Semoga tulisan ringan ini melipurkan lara dan memberikan kekuatan kepada para korban bencana, menguatkan keyakinan kita bahwa Allah Rabb yang telah menggerakkan Gunung Semeru dan meninggikan air banjir adalah Rabb yang akan membalas kontan segala kesabaran kita.
Terakhir, mari kita mendoakan saudara-saudara kita yang masih merasakan dampak dari bencana agar mendapatkan ketabahan. Dan semoga semua elemen masyarakat dan pemerintah yang telah terjun meringankan sedikit beban para korban bencana diberi kemudahan dan dicatat sebagai amal saleh pemberat timbangan di yaumul hisab. Aamiin.